Maulid Nabi, Poros Persatuan Suni-Syiah

Setelah agenda penting Sabtu ini (11/2) terpaksa batal, saya menggantinya dengan menghadiri seminar internasional di bulan maulid yang diselenggarakan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan Majelis Ukhuwah Syiah-Sunni (MUHSIN). Selain dihadiri ribuan orang dari berbagai daerah, acara ini juga dihadiri oleh ikhwan ahlusunah asal Iran. Karena pesan yang disampaikan beberapa pembicara dirasa cukup penting, saya akan coba membaginya secara singkat dengan harapan bermanfaat.

Sebagai keynote speaker pertama adalah Dr. Perwira. Mewakili Menkopolhukam yang tidak hadir, Dr. Perwira mengatakan bahwa cara menghadapi kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah dengan silaturahmi dan saling menghormati. Tidak boleh ada kelompok, baik itu agama atau ras, yang merasa lebih tinggi dari kelompok lain. Selain mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan, beliau juga mengharapkan kontribusi dari seluruh pihak kepada negara dengan cara meniru sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw.

Duta besar Iran sebagai keynote speech kedua, Dr. Faranzadeh, menyampaikan bahwa Nabi Muhammad saw. merupakan poros (axis) bagi persatuan umat Islam yang sama-sama mencari pengajaran nabi. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam tidak akan bisa mendominasi dunia jika masih terjadi perpecahan dalam umat Islam. Dr. Faranzadeh juga mengatakan bahwa kebangkitan masyarakat di Timur Tengah dan Barat merupakan fitrah yang diberikan Tuhan jika manusia merasa kebebasannya ditekan pemimpin zalim.

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka… (QS. Al-Fath: 29)

Sebagai pembicara pertama dalam seminar inti adalah Ayatullah Naim Abadi. Beliau adalah wali fakih untuk provinsi Hormozgan dengan ibu kota Bandar Abbas. Bandar Abbas merupakan kota dengan 30% penduduknya bermazhabkan Syafii dan Hanafi. Beliau mengatakan bahwa maulid merupakan nikmat besar karena banyak bangsa lain yang mengagungkan tokohnya masing-masing, sementara Nabi Muhammad saw. merupakan sebaik-baik makhluk.

Menyinggung ukhuwah islamiah, Ayatullah Abadi mengatakan bahwa ucapan yang ditujukan untuk perpecahan umat muslim, baik itu berasal dari awam Syiah maupun suni, merupakan ucapan setan. Melalui acara seperti ini, beliau berharap agar mata musuh-musuh Islam menjadi buta karena persatuan yang kita lakukan. Karena, sebagaimana yang sahabat Salman r.a. pernah katakan, bahwa kita adalah putra-putri Islam.

Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik… (Q.S. Al-Ahzab: 21)

Mengutip ayat di atas, Ketua PBNU Prof. Dr. Maidir Harun, mengatakan bahwa tradisi yang baik seperti maulid merupakan salah satu untuk mengambil suri teladan Rasulullah saw sebanyak-banyaknya. Mengutip pendapat Yusuf Al-Qaradhawi mengenai Islam sebagai peradaban masa depan, beliau mengatakan bahwa peradaban Islam memiliki perbedaan dengan peradaban lain karena memiliki aspek spiritual yang sakral. Barat misalnya, telah menghilangkan aspek sakral dari lembaga pernikahan, sehingga banyak anak yang tidak mengetahui orang tuanya.

Peradaban masa depan tersebut akan terwujud jika umat Islam memiliki kunci penting bernama persatuan. Beliau mengatakan bahwa ahlusunah dan Syiah memiliki poros akidah yang sama: ketauhidan, kenabian, dan hari akhir. Perpecahan yang terjadi hanya dimanfaatkan oleh kepentingan politik.

Tampil sebagai pembicara ketiga adalah Ayatullah Dr. Biazar Syirazi, Rektor Universitas Taqrib. Beliau menceritakan bagaimana nabi lahir dan hidup dalam kondisi lingkungan yang penuh dengan perselisihan dan peperangan. Salah satu tugas beliau adalah mendamaikan suku-suku tersebut dengan cara yang digunakan para nabi sebelumnya, yakni membersihkan hati dan jiwa dari sifat hasud.

Pada masa awal, Islam mengenal dua pemikiran yang berasal dari dua daerah berbeda. Dari kota Madinah muncul ashabul hadis dan dari kota Kufah muncul ashabur ra’yi. Abu Hanifah yang berasal dari wilayah Kufah mengutus muridnya ke Madinah untuk mempelajari pendapat ahlul Madinah tersebut. Dari mempelajari kedua pemikiran itulah muncul kitab fikih muqaranah. Imam Syafii yang mempelajari kitab tersebut melahirkan karya penting lainnya dalam khazanah fikih perbandingan, Al-Umm.

Namun sayangnya, sejak abad delapan hijriah, ilmu fikih perbandingan mulai tidak digemari sehingga kolonialisme memanfaatkan dengan mengadu domba umat. Karena itulah, berawal dari Mesir, perlu rasanya didirikan lembaga pendekatan mazhab untuk saling mengenal dan membuka cakrawala pemikiran seluas-luasnya.

Klik www.taqrib.info untuk informasi selengkapnya.

Hadir sebagai pembicara lain adalah pengurus Dewan Masjid Indonesia, H. Daud Poliradja. Sementara KH. Jalaluddin Rakhmat dari IJABI mengutipkan sebuah kisah tentang sahabat nabi, Salman r.a. Suatu ketika, sekelompok orang sedang membanggakan kabilahnya masing-masing. Mereka dengan bangga menyebutkan asal dari kabilah seperti Aus atau Khazraj. Sampai akhirnya Salman ditanya, “Putra siapa engkau, hai Salman?” Dengan berdiri Salman berkata, “Anâ ibnul Islâm. Aku putra Islam, Salman Al-Muhammadi.”

http://ejajufri.wordpress.com/2012/02/11/maulid-nabi-poros-persatuan-suni-syiah/

Beri Komentar